Rabu, 17 Desember 2008

Feathered Bastard

Hmmm...maybe them deputies ain't all bad...

The battle of Bell Road ended abruptly last night, around 8:30 p.m., when the MCSO called it quits, bringing to an end the most contentious of the Sheriff's anti-immigrant sweeps. The Sheriff told other reporters present that they wouldn't be back today, as they had only planned to be out for two days at Bell and Cave Creek Roads, beginning Thursday night.

However, the quick end to the operation had the feel of a retreat. Once again, the MCSO had been met by an angry crowd of demonstrators, slightly smaller than the one of 700 that gathered Thursday night. There were no PHX cops around, and a slightly-larger contingent of pro-Joe counter-demonstrators was present. Though the two sides were separated by barricades, insults and waterbottles were thrown by both sides. One bottle-tosser from the anti-Joe crowd was arrested. And the tension between the two camps was in the pre-riot stage. The MCSO's decision to pack up quickly deflated the situation.

In the weirdest incident of the eve, this Anglo dood showed up with a shotgun strapped to his back. Folks told me he first came onto the lot without the shotgun and asked if Joe was there. When he was told Arpaio wasn't around, he left, then returned with the shotgun. The anti-Joe side informed the MCSO, and they took him into custody. No indication of which side he was on, if any. He just seemed like a nut.

The Arizona Republic awoke from its slumber and finally covered the donnybrook on the front page of today's paper, reporting on Mayor Phil Gordon's speech lambasting Joe at the Cesar Chavez luncheon on Friday. The address was a surprising one, especially coming from Gordon, who has hardly been known for his political vertebrae. Gordon said, in part:

"Last night, the Sheriff communicated with the law enforcement professionals of our community like he communicates with most everyone by issuing a press release. He announced that his 200 volunteer posse members would be migrating north to crack down on illegal aliens. `Migrating North.' That's the phrase he used -- intentionally mocking the language of the hard-working migrant workers who we honor and celebrate today. He says he's doing this because 10 business owners -- including a pawn shop and a biker store -- asked him to. And who helped circulate those 10 signatures to deliver to the Sheriff? A self-described neo-Nazi."

You can read the entire speech, here. In actuality, there were only eight signatures from eight businesses, and the petition was the brain child of alleged public urinator Buffalo Rick Galeener. Technically, Galeener is not a neo-Nazi, though he is a bigot. A fine point, I know, but one worth making. His group, United for a Sovereign America has accepted neo-Nazis into its ranks, but Buffalo isn't one of them. Could a neo-Nazi have helped him out with the petition? It's possible, I reckon. However, I suspect that the Mayor's facts were off a smidgen in this case.

The Sheriff promised to take his anti-immigrant dragnets to other parts of town. Considering the near-riot they inspired this time around, you've gotta wonder who would welcome this idiot to their neighborhood. The events of this week have shown that our Sheriff is a menace to public safety, not a protector of it.

Senin, 15 Desember 2008

Nubruk Kaca

Jam baru menunjukkan pukul setengah lima subuh. Selimut hangat terhampar di ranjang. Bantal empuk juga masih belum terlalu panas. Ranjang pun masih setia menunggu untuk ditiduri. Cuma orang bodoh yang memilih meninggalkan itu semua hanya untuk memandangi dirinya sendiri alias becermin.

Tapi, Park sama sekali bukan orang bodoh. IQ-nya jauh lebih tinggi daripada anak-anak normal. Sampai-sampai, orang tuanya takut, jangan-jangan anak mereka bakal gila saking geniusnya. Pernah dengar kan kalau beda antara kegeniusan dengan kegilaan itu hanya dibatasi oleh sehelai rambut?

Mengingat, orang pintar seharusnya tidak memilih becermin subuh-subuh. Dengan kegiatan seperti ini, kekhawatiran orang tua Park sepertinya sedikit beralasan. Tapi, Park ternyata bukan sekadar becermin. Ia juga berpikir.

Bukan, bukan berpikir mengapa jerawatnya tumbuh di jidat dan bukannya di bibir saja. Ia juga bukan berpikir mengapa ia jelek. Apalagi, berpikir mengapa ia tampan. Ia masih cukup pintar untuk tidak berpikir begitu. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu hanya dilontarkan oleh orang bodoh. Sekali lagi, Park bukanlah orang bodoh.

la hanya berpikir mengapa di dalam cermin itu ada ruang yang persis sama dengan kamarnya? Mengapa pula ada anak lain seperti dirinya di sana? Padahal, seingat dia, ketika masih berada dalam perut ibunya tak ada anak lain yang ikut berebut makanan dengannya (baca: kembarannya).

Jangan remehkan ingatan ini. Kelak, bukan tidak mungkin memorinya akan menyaingi memori super milik.

Satu lagi. la juga jengkel mengapa dari tadi anak sialan itu menirunya terus-terusan? Eh, jangan tertawa! Aku yakin, kalian tak pernah -dan tak akan pernah-memikirkan hal semacam itu. Iya kan? Tapi, Park melakukannya!

Bahkan, tak terasa sepuluh menit telah berlalu sejak ia memandang anak di seberang cermin itu. Tak ada pula yang berubah, selain ia semakin jengkel! Mengapa, sih, anak kecil itu meniru-niru dirinya terus? Seandainya bisa melihat tampang Park, rasanya kita pasti yakin kalau ia benar-benar ingin mencekik anak itu sekarang.

Park benar-benar mengepalkan tinjunya. Yang lebih menyebalkan, anak itu juga melakukannya!

Wah, nantang dia! pikir Park kesal.

Kemudian, Park membuang muka dan pergi mengambil bukunya. Sekadar informasi, buku Park ini bukan sembarang buku yang berjudul Kancil dan Keledai. Melainkan, berjudul Matematika Amat Mudah, Tingkat Akhir. Luar biasa.

Namun, tiba-tiba sebuah kertas kecil jatuh dari dalam buku itu. Kali ini, kertas itu bukan berisi rumus-rumus aljabar. Melainkan, sebuah cerita singkat berjudul Dunia dalam Cermin.

Otak genius Park mulai bekerja, memasukkan data-data sampai ke dalam sel-sel otaknya yang terkecil. Mengumpulkan ingatan-ingatan dan fakta-fakta, digabung dengan berbagai kemungkinan serta sedikit imajinasi. Kerja keras otaknya akhirnya menghasilkan suatu kesimpulan.

Memang ada dunia di balik sebuah cermin.

Kesimpulan itu semakin beralasan bagi Park. Ketika dia mengintip dari balik kursinya untuk melihat cermin besar itu, lagi-lagi si anak sialan itu juga sedang mengintip dirinya.

Dengan perasaan luar biasa bangga, Park mulai berjalan ke "dunia sana". Park merasa berada di awang-awang, mengingat si genius yang bahkan tak pernah menemukan teori cerdas itu.

Lalu, Park mulai membayangkan dirinya berada di podium, menerima sebuah hadiah berupa nobel raksasa. Ia juga mulai berpikir untuk mengganti namanya menjadi Park Einsteino. Terdengar sedikit lebih keren daripada Park .

Tak terasa, jarak antara Park dan dunia barunya itu semakin sempit. Semakin dekat langkahnya dengan cermin raksasa tersebut, semakin lebar pula senyum dan imajinasinya. Tak lama lagi, ia bisa dipastikan menguasai dunia.

Tiga langkah lagi, air liurnya sudah kelihatan menetes. Dua langkah lagi, ia semakin mirip ilmuwan gila. Satu langkah lagi, rasanya ia sudah benar-benar gila sekarang. Dan, ini dia. Welcome to the new life, Park!

Praaannggg!

***

"Benar, Pak. Tolong kirimkan satu unit ambulans ke Jalan Tongkol no. 9. Sekarang juga, Pak! Kondisi gawat darurat. Ada anak kecil yang terluka parah gara-gara nubruk kaca!

Sabtu, 13 Desember 2008

Peristiwa yang merupakan peperangan terdashyat yaitu serangan umum 16 Desember yaitu dengan serangan oleh Jendral Gandira Terhadap Pasukan PSL. Di peperangan terdashyat itu seakan-akan semua pasukan kesetanan.Jendral Agil dan pasukannya balik menyerang lewat div 3 Pasukan Phoenix bagaikan tak tersisa satu pun Pasukan Jendral Agil menyerang Benteng terkuat Phoenix.Beruntung Ketua dan Wakil Phoenix berhasil lolos sedangkan yang tertangkap hanya para pasukannya saja.Serangan umum 16 Desember dibalas dengan ultimatum jika tidak menyerahkan kekuasaan dari Wilayah Phoenix mereka mengancam akan menyerang lewat div2 dengan dipimpin Mayor Senos. WIlayah PSL dikepung,mereka mengirim pasukan div4 lewat Jendral Akbar Pengganti Jendral Agil Kekalahan Berujung di pihak PSL Tanggal 18 Desember jadi hari Phoenix karena berhasil menguasai 3/8 dari benteng seluruh Benteng PSL.Tetapi hingga Peristiwa 5 Februari yang membuat kekalahan telak PSL. Tetapi sudah sampai tanggal 8 April Benteng PSL Terus Dikepung tetapi berhasil membantai Pasukan Phoenix yang bertempur secara sendiri-sendiri.Hal ini disebabkan Jendral Gandira yang hilang ditelan bumi dan Mayor Senos yang meninggal pada saat penyerangan 21 Januari.

Kemenangan di perang-perang sebelumnya membuat pasukan PSL bersemangat.Mereka mati-matian menggempur habis benteng Phoenix. Lihat saja,Jendral sepiawai Jendral Dicky takluk di tangan pasukan PSL. Senangat besar-besaran terbukti ketika mereka menghancurkan benteng Phoenix. Lihatlah inilah foto penghancuran Benteng Phoenix.




Setelah menang di beberapa tempat,semarak perjuangan tidak sampai di situ mereka menyerang Istana Phoenix.



Semua anggota kerajaan Phoenix yang ada di Istana meningal dan ditawan. Berkat perjuangan yang dashyat dan mati matian yang diberikan oleh Para Pasukan akhirnya pasukan PSL menggapai kemenangan. Trimakasih




Terimakasih Sudah Melihat Cerita Perang Phoenix. Komentar dan Sarannya ditunngu Loh! Cerita ini Nomor 1 Di Dunia Sementara.